Pengertian Tawadhu’ adalah rendah hati, tidak sombong. Pengertian yang
lebih dalam adalah kalau kita tidak melihat diri kita memiliki nilai lebih
dibandingkan hamba Allah yang lainnya. Orang yang tawadhu’ adalah
orang menyadari bahwa semua kenikmatan yang didapatnya bersumber dari
Allah SWT. Yang dengan pemahamannya tersebut maka tidak pernah terbersit
sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain,
tidak merasa bangga dengan potrensi dan prestasi yang sudah dicapainya. Ia
tetap rendah diri dan selalu menjaga hati dan niat segala amal shalehnya dari
segala sesuatu selain Allah. Tetap menjaga keikhlasan amal ibadahnya hanya
karena Allah.
Tawadhu ialah bersikap tenang, sederhana dan sungguh-sungguh menjauhi
perbuatan takabbur (sombong), ataupun sum’ah ingin diketahui orang lain amal
kebaikan kita.
Tawadhu merupakan salah satu bagian dari akhlak mulia jadi sudah selayaknya
kita sebagai umat muslim bersikap tawadhu, karena tawadhu merupakan salah satu
akhlak terpuji yang wajib dimiliki oleh setiap umat islam. Perhatikan sabda
Nabi SAW berikut ini :
Rasulullah SAW bersabda: yang artinya “Tiada berkurang harta karena sedekah,
dan Allah tiada menambah pada seseorang yang memaafkan melainkan kemuliaan. Dan tiada seseorang yang bertawadhu’ kepada Allah,
melainkan dimuliakan (mendapat ‘izzah) oleh Allah. (HR.
Muslim).
Iyadh bin Himar ra. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya
Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: “Bertawadhu’lah hingga seseorang tidak
menyombongkan diri terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap
lainnya.(HR. Muslim).
Rasulullah SAW bersabda,
“Sombong adalah menolak kebenaran
dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)
Ibnu Taimiyah, seorang ahli dalam madzhab Hambali menerangkan dalam
kitabnya, Madarijus Salikin bahwa tawadhu
ialah menunaikan segala yang haq dengan bersungguh-sungguh, taat menghambakan
diri kepada Allah sehingga benar-benar hamba Allah, (bukan hamba orang banyak,
bukan hamba hawa nafsu dan bukan karena pengaruh siapa pun) dan tanpa
menganggap dirinya tinggi.
Tanda orang yang tawadhu’ adalah disaat seseorang semakin bertambah ilmunya
maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin
bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap
kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap
kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk
membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka
semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai
kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.. Ini karena orang
yang tawadhu menyadari akan segala nikmat yang didapatnya adalah dari
Allah SWT, untuk mengujinya apakah ia bersykur atau kufur.
Perhatikan firman Allah berikut ini : “Ini termasuk kurnia Tuhanku
untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan
barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha
Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An Naml: 40).”
Berikut beberapa ayat-ayat Al Quran yang menegaskan perintah Allah SWT
untuk senantiasa bersikap tawadhu’ dan menjauhi sikap sombong, sebagai berikut
:
”Dan janganlah kalian berjalan di atas bumi ini dengan menyombongkan
diri, karena kalian tidak akan mampu menembus bumi atau menjulang setinggi
gunung” (QS al-Isra-37).
Firman Allah SWT lainnya: ”Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak menginginkan kesombongan di muka bumi dan kerusakan di
(muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa (QS al-Qashshash-83.)
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. (QS. Al Furqaan: 63)
Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka
rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong. (QS: an-Nahl: 23)
Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan
diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu
langit dan
tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah
Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (QS:
al-A’raf: 40)
Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah
kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya)
neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang
seburuk-buruknya. (QS.Al-Baqarah : 206)
Berikut beberapa contoh Ketawadhu’an Rasulullah SAW
1 Anas ra jika bertemu dengan anak-anak kecil maka selalu
mengucapkan salam pada mereka, ketika ditanya mengapa ia lakukan hal
tersebut ia menjawab: Aku melihat kekasihku Nabi SAW senantiasa berbuat
demikian. (HR Bukhari, Fathul Bari’-6247).
2. Dari Anas ra berkata: Nabi SAW memiliki seekor unta yang diberi
nama al-’adhba` yang tidak terkalahkan larinya, maka datang seorang ‘a’rabiy
dengan untanya dan mampu mengalahkan, maka hati kaum muslimin terpukul
menyaksikan hal tersebut sampai hal itu diketahui oleh nabi SAW, maka beliau
bersabda: Menjadi haq Allah jika ada sesuatu yang meninggikan diri di dunia
pasti akan direndahkan-Nya. HR Bukhari (Fathul Bari’-2872).
3. Abu Said al-Khudarii ra pernah berkata: Jadilah kalian seperti Nabi SAW,
beliau SAW menjahit bajunya yang sobek, memberi makan sendiri untanya,
memperbaiki rumahnya, memerah susu kambingnya, membuat sandalnya, makan bersama-sama
dengan pembantu-pembantunya, memberi mereka pakaian, membeli sendiri
keperluannya di pasar dan memikulnya sendiri ke rumahnya, beliau menemui orang
kaya maupun miskin, orang tua maupun anak-anak, mengucapkan salam lebih dulu
pada siapa yang berpapasan baik tua maupun anak, kulit hitam, merah, maupun
putih, orang merdeka maupun hamba sahaya sepanj`ng termasuk orang yang suka
shalat.
Dan beliau SAW adalah orang yang sangat rendah hati, lembut perangainya,
dermawan luar biasa, indah perilakunya, selalu berseri-seri wajahnya, murah
senyum pada siapa saja, sangat tawadhu’ tapi tidak menghinakan diri, dermawan
tapi tidak berlebih-lebihan, mudah iba hatinya, sangat penyayang pada semua
muslimin. Beliau SAW datang sendiri menjenguk orang sakit, menghadiri
penguburan, berkunjung baik mengendarai keledai maupun berjalan kaki,
mengabulkan undangan dari para hamba sahaya siapapun dan dimanapun. Bahkan
ketika kekuasaannya SAW telah meliputi jazirah Arabia
yang besar datang seorang ‘A’rabiy menghadap beliau SAW dengan gemetar seluruh
tubuhnya, maka beliau SAW yang mulia segera menghampiri orang tersebut dan
berkata: Tenanglah, tenanglah, saya ini bukan Raja, saya hanyalah anak seorang
wanita Quraisy yang biasa makan daging kering. (HR Ibnu Majah-3312 dari abu Mas’ud
al-Badariiy)
Berbicara lebih jauh tentang tawadhu’, sebenarnya tawadhu’ sangat diperlukan
bagi siapa saja yang ingin menjaga amal shaleh atau amal kebaikannya, agar
tetap tulus ikhlas, murni dari tujuan selain Allah. Karena memang
tidak mudah menjaga keikhlasan amal shaleh atau amal kebaikan kita agar tetap
murni, bersih dari tujuan selain Allah. Sungguh sulit menjaga agar segala
amal shaleh dan amal kebaikan yang kita lakukan tetap bersih dari tujuan selain
mengharapkan ridha-Nya. Karena sangat banyak godaan yang datang, yang selalu
berusaha mengotori amal kebaikan kita. Apalagi disaat pujian dan ketenaran
mulai datang menghampiri kita, maka terasa semakin sulit bagi kita untuk tetap
bisa menjaga kemurnian amal shaleh kita, tanpa terbesit adanya rasa bangga
dihati kita. Disinilah sangat diperlukan tawadhu’ dengan menyadari sepenuhnya,
bahwa sesungguhnya segala amal shaleh, amal kebaikan yang mampu kita lakukan,
semua itu adalah karena pertolongan dan atas ijin Allah SWT.
Tawadhu’ juga mutlak dimiliki bagi para pendakwah yang sedang berjuang
meninggikan Kalimatullah di muka bumi ini, maka sifat tawadhu’ mutlak
diperlukan untuk kesuksesan misi dakwahnya. Karena bila tidak, maka disaat
seorang pendakwah mendapatkan pujian, mendapatkan banyak jemaah, dikagumi orang
dan ketenaran mulai menghampirinya, tanpa ketawadhu’an, maka seorang pendakwah
pun tidak akan luput dari berbangga diri atas keberhasilannya.
No comments:
Post a Comment