Oleh: Elvira Syamsir (tulisan tahun 2007)
A. Pendahuluan
A. Pendahuluan
Aflatoksin
adalah komponen metabolit sekunder kapang. Setelah terjadinya Kejadian
Luar Biasa (KLB) pada kalkun yang berakhir dengan kematian di Inggris
pada tahun 1960 karena mengkonsumsi pakan mengandung kacang tanah dan
biji kapas yang tercemar aflatoksin, maka toksin ini dikenal sebagai
racun yang sangat toksik, karsionogenik, mutagenik dan menekan sistem
kekebalan pada manusia dan hewan (Syarief, 2006).
Pada
umumnya, aflatoksin dibentuk oleh 2 jenis kapang yaitu Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus. A. flavus tersebar luas di alam dan
paling umum ditemukan pada biji-bijian yang tumbuh pada kondisi tertekan
misalnya pada musim kemarau. Kapang ini bisa ditemukan di tanah,
tumbuh-tumbuhan yang mengalami pembusukan dan jerami. Studi yang lebih
baru menyebutkan bahwa species kapang yang berkerabat dekat dengan A.
flavus juga mampu memproduksi aflatoksin diantaranya A. nominus, A.
tamari, A. bombycis dan A. pseudotamarii (Farombi, 2006; Thanaboripat et
al, 2007).
Sedikitnya
13 jenis aflatoksin telah diketahui, dan aflatoksin B1 merupakan jenis
aflatoksin yang paling berbahaya. Walaupun keberadaan A. flavus tidak
selalu berkorelasi dengan level aflatoksin, tetapi keberadaan A. flavus
di dalam suatu jenis pangan bisa menjadi indikasi adanya potensi
pembentukan aflatoksin.
Dengan
mempertimbangkan potensi bahaya aflatoksin terhadap kesehatan manusia,
maka di banyak negara telah diberlakukan program regulasi dan pemantauan
(monitoring) aflatoksin. Batasan antara 0 sampai 50 ppb saat ini telah
digunakan sebagai kandungan aflatoksin yang diijinkan di dalam pangan
dan pakan (Patterson, 1983 disitasi oleh Farombi, 2006). Sebagian besar
negara termasuk Amerika Serikat menetapkan 20 ppb sebagai batas maksimal
kandungan aflatoksin di dalam pangan, sementara masyarakat ekonomi
Eropa (European Economic Community, EEC) pada 1999 menetapkan kandungan
aflatoksin total adalah 4.0 ppb dan AFB1 sebesar 2.0 ppb (Mishra dan
Chitrangada, 2003 di dalam Farombi, 2006).
Data
dari negara berkembang menunjukkan banyak bahan pangan pokok dan produk
agriculture terkontaminasi oleh aflatoksin terutama AFB1 dalam jumlah
yang cukup signifikan. Kontaminasi disebabkan oleh kondisi lingkungan,
proses pengolahan yang buruk dan kurangnya fasilitas penyimpanan.
Maizena dan kacang tanah merupakan komoditas yang paling banyak
terkontaminasi oleh aflatoksin seperti tampak pada Tabel 1.
Kedelai
merupakan jenis biji-bijian yang relatif tahan terhadap pembentukan
alatoksin (Wood, 1992). Beberapa faktor telah dipertimbangkan sebagai
penyebab tingginya kemampuan kedelai untuk menghambat pertumbuhan
aflatoksin. Tulisan ini mencoba untuk mereview penjelasan mengenai
faktor-faktor penghambat pembentukan aflatoksin di dalam kedelai dan
beberapa produk olahannya.
B. Tingkat Cemaran Aflatoksin Pada Kedelai
Sangat
sedikit informasi mengenai produksi aflatoksin di dalam kedelai. Hasil
analisis terhadap kandungan aflatoksin kedelai sebelum tahun 1975 yang
disitasi oleh Gupta dan Venkitasubramanian (1975) menghasilkan data yang
kontroversial. Survey terhadap 866 sampel komersial di USA oleh
Shotwell et al (1969) menyebutkan bahwa kontaminasi aflatoksin hanya
0.8%, walaupun sebanyak 50% sampel kedelai terkontaminasi oleh A.
flavus. Chang et al (196) tidak bisa mendeteksi keberadaan aflatoksin di
dalam kedelai yang dikontaminasi oleh isolat A. flavus. Sementara itu,
Davis dan Diener (1970) menemukan kandungan aflatoksin (48 – 138 µg/ml)
pada kedelai varietas Bragg setelah diinkubasi selama 21 hari dengan
strain A. parasiticus. Nagarajan et al. (1973) juga menemukan adanya
produksi toksin (0.12 – 31.25 µg/ml), menggunakan isolat dari A. flavus
dan A. parasiticus.
Data
penelitian yang lebih baru, sebagian besar juga menunjukkan bahwa
kedelai relatif tahan terhadap serangan aflatoksin dibandingkan dengan
komoditas pertanian lainnya. Survey yang dilakukan oleh Sebunya dan
Yourtee (1990) terhadap komoditas pertanian di Uganda menunjukkan bahwa
kapang A. flavus dan/atau A. parasiticus maupun aflatoksin tidak
terdeteksi pada sampel lapang kedelai. Mahmoud (1993) juga melaporkan
bahwa sampel pakan unggas yang dianalisis bebas dari aflatoksin maupun
kapang A. flavus. Sementara itu, survey yang dilakukan oleh El-Kady dan
Youssef (1993) terhadap kandungan aflatoksin pada 100 sampel kedelai di
Mesir setelah 4 bulan dalam kondisi penyimpanan komersial menunjukkan
aflatoksin terdeteksi pada 35% sampel kedelai dengan kandungan sekitar 5
– 35µg/kg.
Tabel 1. Kontaminasi pangan oleh aflatoksin di beberapa Negara berkembang
Harian
Republika (2 Februari 2006) memberitakan hasil survei Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menemukan 35 % kecap di Pulau Jawa
mengandung aflatoksin yang kadarnya mencapai 120 ppb. Diketahui bahwa
kecap merupakan produk pangan yang dihasilkan melalui proses fermentasi
kedelai oleh A. niger, A. flavus dan Rhizopus sp serta peran beberapa
jenis khamir dan bakteri, misalnya Zygosaccharomyces (khamir) dan
Lactobacillus (bakteri). Hasil
ini agak berbeda dengan laporan dari beberapa penelitian lainnya yang
pada umumnya menyebutkan bahwa produk fermentasi kedelai bebas dari
aflatoksin, walaupun beberapa studi lainnya menyebutkan adanya kapang
penghasil aflatoksin pada beberapa jenis produk fermentasi.
Sripathomswat dan Thanaskorn (1981) menemukan adanya kapang penghasil
aflatoksin di dalam produk fermentasi Thailand: kaomak (nasi
terfementasi), taotjo (saus hancuran kedelai), shoyu (saus kedelai),
mentega kacang, anggur putih dan merah Thailand dan anggur rice sugar.
Sebanyak 10% dari ekstrak mentega kacang dan 5% dari ekstrak kaomak
mengandung sejumlah besar aflatoksin, yang tidak ditemukan dalam produk
fermentasi kedelai.
Park
et al (2003) melaporkan bahwa doenjang (produk pasta kedelai
terfermentasi khas Korea yang dibuat dengan menggunakan Bacillus
subtilis dan kapang seperti Rizopus sp., Mucor sp., dan Aspergillus sp
sebagai starter ) bebas dari mikotoksin termasuk aflatoksin. Produk
fermentasi Jepang seperti miso (pasta kedelai), shoyu (saus kedelai),
sake (anggur beras) dan katsuo-bushi (dried bonito) juga dilaporkan
bebas dari aflatoksin maupun kapang penghasil aflatoksin. Menurut Tanaka
et al (2002), kondisi rata-rata suhu udara Jepang sebagian besar kurang
dari 16oC menyebabkan kontaminasi pangan oleh kapang penghasil
aflatoksin jarang terjadi.
C. Penghambatan Produksi Aflatoksin Pada Kedelai
Beberapa
faktor diduga berperan dalam penghambatan pertumbuhan kapang penghasil
aflatoksin ataupun pembentukan toksin tersebut di dalam kedelai dan
produk-produk olahan kedelai. Berbagai studi telah mempelajari
keberadaan komponen-komponen di dalam kedelai dan pertumbuhan mikroflora
kompetitif sebagai penekan pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin
maupun produksi toksinnya sendiri.
Stössel
(1986) mengutip dari beberapa sitasi menyebutkan bahwa walaupun A.
flavus merupakan koloni dominan pada permukaan biji kedelai, tetapi
insiden kontaminasi pada kedelai rendah. Sebaliknya, kedelai yang telah
mengalami proses pemanasan (autoclave) menunjukkan sintesa aflatoksin
yang tinggi.
Zinc,
yang merupakan komponen trace esensial untuk sintesa aflatoksin telah
digunakan untuk menjelaskan tingginya produksi aflatoksin pada kedelai
yang telah dimasak. Menurut Gupta dan Venkitasubramanian (1975), zinc di
dalam kedelai mentah terikat dengan asam fitat sehingga menjadi tidak
tersedia untuk sintesis aflatoksin. Proses pemasakan diduga membebaskan
zinc dari kompleks zinc dan fitat sehingga menjadi lebih tersedia untuk
sintesa aflatoksin. Tetapi, penelitian Erdman (1979) yang disitasi
Stössel (1986) menunjukkan bahwa proses pemasakan (autoklaf) pada flake
kedelai dan protein kedelai selama 30 menit hanya merusak kurang dari 5%
fitat dan pemanasan media pertumbuhan di dalam autoklaf dengan atau
tanpa fitat tidak secara nyata memperbaiki ketersediaan zinc.
Proses
autoklaf tampaknya menurunkan ketersediaan zinc di dalam medium bebas
fitat sehingga fitat bukan faktor satu-satunya yang mempengaruhi
ketersediaan zinc. Penelitian Stössel (1986) menunjukkan bahwa
penambahan zinc ke dalam media setelah proses pemanasan dengan autoklaf
menyebabkan peningkatan rasio AFB1/AFG1(Tabel 2).
Kinetika
dari akumulasi aflatoksin dalam berbagai substrat kedelai menunjukkan
percepatan sintesis aflatoksin dalam urutan kedelai mentah < kedelai
yang dipanaskan dengan autoklaf < kedelai kupas kulit. Pembengkakan
(swelling) lapisan pelindung sel dan pemisahannya satu sama lain mungkin
akan membentuk retakan dan lubang pada kulit yang dapat mempercepat
kolonisasi kapang di kotiledon dan akumulasi aflatoksin. Penelitian
Stössel (1986) menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin di dalam hancuran
kedelai mentah (kotiledonnya hancur) setelah diinkubasi selama 5 hari
(217 62 µg/g) relatif sama dengan kandungan aflatoksin didalam kedelai
yang dipanaskan dengan autoklaf (202 44.9 µg/g).
Menurut
Stössel (1986), kotiledon yang merupakan substrat utama untuk
pertumbuhan A. flavus pada kedelai mentah, efektif meningkatkan sintesa
aflatoksin. Peran kotiledon dalam sintesis aflatoksin terlihat jika
kondisi kedelai diperlakukan sedemikian rupa sehingga merangsang
pertumbuhan kapang yang akhirnya akan memproduksi toksin. Pembentukan
aflatoksin terjadi jika kadar air kedelai dinaikkan menjadi 27%, kedelai
utuh dimasak sehingga substrat didalamnya menjadi lebih mudah
difermentasi, dan jika kulit kedelai dikupas. Dari sini juga dapat
dikatakan bahwa lapisan pelindung biji memberikan efek perlindungan
terhadap pertumbuhan A. flavus yang menjadi faktor penghalang akses
koloni ke substrat dan mempertahankan agar kadar air biji tetap rendah.
Tabel 2. Pengaruh zinc dan fitat pada produksi aflatoksin oleh A. flavus (Stössel, 1986)
Keterbatasan
sumber karbon di dalam kedelai diduga berperan dalam menekan produksi
aflatoksin di dalam kedelai. Studi yang dilakukan Obidoa dan Onyeneke
(1980) terhadap potensi aflatoksigenik A. parasiticus 2999 pada kedelai
(mentah dan masak) pada beragam perlakuan dengan sukrosa (0 – 20 gram)
menunjukkan bahwa produksi aflatoksin meningkat dengan meningkatnya
konsentrasi sukrosa dan kedelai (0.1 – 2.0 g).
Beberapa
komponen alami kedelai telah dibuktikan memiliki kemampuan untuk
menekan sintesa dari aflatoksin. Song dan Karr (1993) menunjukkan bahwa
fitoaleksin kedelai yaitu gliseollin, menekan akumulasi AFB1 di dalam
kultur A. flavus. Pada konsentrasi 6.25µg/ml dan 62.5µg/ml, gliseolin
menyebabkan berturut-turut 70% dan 95% penurunan level AFB1 yang
teramati. Tetapi, gliseolin pada konsentrasi yang digunakan ini hanya
memberikan sedikit pengaruh terhadap pertumbuhan kapang. Penambahan
62.5µg/ml gliseolin pada kultur cair hanya menyebabkan sedikit penundaan
fase lag pada awal pertumbuhan dan menurunkan massa kapang sebesar
11.5%. Gliseolin diduga bekerja dengan cara menghambat sintesa AFB1,
karena tidak terjadi peningkatan kecepatan pemecahan aflatoksin pada
kultur kapang yang ditumbuhkan dengan penambahan gliseolin.
Beberapa
penelitian juga menyebutkan bahwa produk-produk yang terbentuk dari
jalur lipoksegenase (lipoxygenase pathway) merusak perkembangan dan
pertumbuhan species Aspergillus termasuk pembentukan toksinnya. Menurut
Gardner et al (1998), oksidasi asam linoleat dalam ekstrak kedelai yang
dikatalisis oleh lipoksigenase berlangsung pada semua RH yang diamati
(52 – 95%) dan menghasilkan produk khas hasil oksidasi enzim yaitu
13S-hydroperoxy-9Z,11E-octadecadienoic acid dan
9S-hydroperoxy-10E,12Z-octadecadienoic acid. Dibandingkan dengan sampel
yang enzim lipoksigenasenya inaktif, sampel tepung kedelai bebas lemak
dengan atau tanpa penambahan asam linoleat dengan enzim lipoksigenase
aktif yang diinokulasi dengan A. parasiticus menunjukkan kandungan
aflatoksin yang lebih rendah walaupun pertumbuh-an kapang tetap terjadi.
Beberapa
jenis kapang diketahui dapat merusak aflatoksin. Menurut Syarief
(2006), galur A. flavus selain menghasilkan juga dapat merusak
aflatoksin. Perusakan aflatoksin dapat terjadi jika miselia kapang
mengalami lisis. Tingkat perusakan dipengaruhi oleh banyaknya miselia
dalam kultur (makin banyak jumlahnya maka kecepatan perusakan makin
besar), kandungan aflatoksin (makin tinggi jumlah awal aflatoksin,
kecepatan perusakan juga tinggi), tingkat suhu (otimum pada suhu 28oC)
dan nilai pH (optimum pada pH 5-6,5, dan pada pH 2-3 perusakan tidak
terjadi). Mikroba yang dapat merusak aflatoksin diantaranya adalah:
•
Aspergillus niger, A. parasiticus (spora), dan A. terreus; yang dapat
mengubah seba-gian AFB1 menjadi senyawa fluoresensi lain.
• Nocardia asteroides IFM 8, Rhizopus oryzae; mempunyai kemampuan metabolisme aflatoksin.
• Aspergillus niger, Trichoderma viride, Mucor ambiguus ; merubah aflatoksin menjadi aflatoksikol dalam waktu 3 – 4 hari.
• Dactylium dendroides NRRL 2575 dan Dactylium dendroides NRRL; merusak 60% aflatoksin menjadi aflatoksikol (aflatoksin R0).
• Flavobacterium auranticum yang merupakan bakteri yang mampu memetabolisme aflatoksin AFB1, AFG1 dan AFM1.
• Tetrahymena puyriformis yang merupakan protozoa; mampu mengubah AFB1 menjadi aflatoksikol.
• Bakteri asam laktat (BAL) dapat menurunkan konsentrasi aflatoksin dalam produk pangan
Biji
kedelai yang diperlakukan dengan suspensi spora Trichoderma harzianum,
A. niger atau kombinasi keduanya lalu diinokulasi dengan strain A.
flavus yang bersifat toksigenik dan diinkubasi selama periode waktu
tertentu ternyata efektif untuk mengontrol produksi AFB1 (Krishnamurthy
and Shashikala, 2006).
Pengaruh
proses perkecambahan dan penyangraian terhadap reduksi aflatoksin pada
kedelai terkontaminasi telah diteliti oleh Hamada dan Megala (1982).
Dari studi ini diketahui bahwa kontaminasi aflatoksin menurunkan persen
perkecambahan dan panjang kecambah yang dihasilkan, sekitar 50%. Proses
perkecambahan sendiri hanya memberikan sedikit efek terhadap penurunan
kadar aflatoksin kedelai, dimana AFG1 lebih rentan daripada AFB1.
Penyangraian kedelai terkontaminasi yang dikecambahkan, direndam atau
kontrol pada suhu 180oC mereduksi kadar aflatoksin sekitar 40-73%,
tergantung pada perlakuan awal. Penyangraian kedelai yang telah
dikecambahkan ataupun yang telah direndam lebih tidak efektif dalam
mereduksi kandungan toksin, jika dibandingkan dengan kedelai yang tidak
diberi perlakuan perkecambahan ataupun perendaman. Dalam semua kasus ini
terlihat bahwa AFB1 lebih resisten terhadap panas jika dibandingkan
dengan AFG1.
D. Sifat Antikarsinogen Kedelai
Kedelai
telah diketahui mengandung saponin yang diketahui memiliki sifat
antikarsinogen. Jun et al (2002) telah mempelajari pengaruh saponin
kedelai terhadap mutagenisitas yang diinduksi oleh aflatoksin B1(AFB1)
dan mutasi DNA yang diinduksi oleh AFB1 menggunakan Salmonella
typhimurium dan sel hepatoma liver manusia (HepG2). Hasil yang diperoleh
mengindikasikan antimutagenisitas saponin dan pembentukan mutan DNA
lebih baik dari -tokoferol dan L-asam askorbat walaupun masih dibawah
BHT.
Produk
fermentasi pasta kedelai tradisional Korea, doenjang, diketahui juga
memiliki aktivitas antimutagenik yang kuat terhadap berbagai senyawa
karsinogen/ mutagen, termasuk AFB1. Aktivitas antimutagenik doenjang
dilaporkan lebih tinggi dibandingkan dengan kedelai mentah, kedelai yang
telah dimasak, maupun produk olahan kedelai lainnya. Komponen aktif
yang teridentifikasi adalah genistein, asam linoleat, β-sitosterol
glucoside, soyasaponin, dan sebagainya. Komponen aktif ini menunjukkan
aktivitas antimutagenik yang kuat di dalam uji Ames, kromotes SOS dan
uji spot sayap Drosophila. Genistein dan asam linoleat merupakan
komponen antimutagenik yang paling efektif di dalam doenjang. Genistein
yang terbentuk selama proses fermentasi doenjang jauh lebih banyak dari
genistin yang ada pada kedelai mentah (Park et al, 2003).
E. Daftar Pustaka
El-Kady,
I.A. and M.S. Youssef. 1993. Survey of mycoflora and mycotoxins in
Egyptian soybean seeds. Journal of Basic Microbiology. Volume 33, Issue
6, Pages 371- 378
Farombi,
E.O. 2006. Review: Aflatoxin contamination of foods in developing
countries: Implications for hepatocellular carcinoma and chemopreventive
strategies. African Journal of Biotechnology, Vol. 5, No. 1, Jan, 2006,
pp. 1-14
Gardner,
H.; M. Grove, N. Keller. 1998. Soybean lipoxygenase is active on
nonaqueous media at low moisture: a constraint to xerophilic fungi and
aflatoxins? Journal of the American Oil Chemists' Society, Volume 75,
Number 12, December 1998 , pp. 1801-1808(8)
Gupta,
S.K., and T.A. Venkitasubramanian. 1975. Production of Aflatoxin on
Soybeans. Applied and Environmental Microbiology. Volume 29 No. 6, Pages
834-836
Hamada,
A.S. and E. Megalla. 1982. Effect of malting and roasting on reduction
of aflatoxin in contaminated soybeans. Mycopathologia. Volume 79, Number
1.
Jun,
H.S., S.E. Kim, M.K. Sung. 2002. Protective Effect of Soybean Saponins
and Major Antioxidants Against Aflatoxin B1-Induced Mutagenicity and
DNA-Adduct Formation. Journal of Medicinal Food. 2002, 5(4): 235-240.
Krishnamurthy,
Y.L., J. Shashikala. 2006. Inhibition of aflatoxin B1 production of
Aspergillus flavus, isolated from soybean seeds by certain natural plant
products. Letters in Applied Microbiology 43 (5), 469 – 474.
Mahmoud,
A-L.E. 1993. Toxigenic fungi and mycotoxin content in poultry feedstuff
ingredients. Journal of Basic Microbiology. Volume 33, Issue 2, Pages
101 – 104
Obidoa,
O and E.C. Onyeneke. 1980. Effect of sucrose supplementation on
aflatoxin production by Aspergillus parasiticus 2999 cultures in
soybeans and cashew fruit juice. Mycopathologia. Volume 70, Number 1 /
January, 1980. Pages 33-36.
Park,
K.Y., K.O. Jung, S.H. Rhee and Y.H Choi. 2003. Antimutagenic effects of
doenjang (Korean fermented soypaste) and its active compounds. Mutation
Research/Fundamental and Molecular Mechanisms of Mutagenesis. Volumes
523-524, February-March 2003, Pages 43-53.
Sebunya,
T.K., D.M.Yourtee. 1990. Aflatoxigenic aspergilli in foods and feeds in
Uganda. Journal of Food Quality. Volume 13 Issue 2 Page 97-107.
Song
D. K. and A. L. Karr. 1993. Soybean phytoalexin, glyceollin, prevents
accumulation of aflatoxin B1 in cultures ofAspergillus flavus. Journal
of Chemical Ecology. Volume 19, Number 6
Sripathomswat,
N and P. Thasnakorn. 1981. Survey of aflatoxin-producing fungi in
certain fermented foods and beverages in Thailand. Mycopathologia.
Volume 73, Number 2. Pages 83-88
Stossel,
P. 1986. Aflatoxin contamination in soybeans: role of proteinase
inhibitors, zinc availability dan seed coat integrity. Applied and
Environmental Microbiology. Volume 52 No. 1, Pages 68-72
Tanaka,
K., T. Goto, M. Manabe, S. Matsuura. 2002. Traditional Japanese
Fermented Foods Free from Mycotoxin Contamination. JARQ Vol. 36, No. 1.
Page 45-50.
Wood, G.E. 1992. Mycotoxins in food and feeds in the United States. J. Anim. Sci. 70:3941-3949
No comments:
Post a Comment